Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar (PB/U atau TB/U). Tinggi badan hanya penunjuk fisik, namun dampak lain yang tak kalah mengkhawatirkan dari stunting adalah hambatan perkembangan kognitif dan motorik serta gangguan metabolik pada saat dewasa sehingga berisiko menderita penyakit tidak menular.
Baca Juga : Daftar Obat Sirop Aman Dikonsumsi Yang Dirilis BPOM
Banyak orang berpikir bahwa tinggi seorang anak bergantung pada faktor genetik (keturunan) dan tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mencegah atau memperbaikinya. Padahal, stunting disebabkan karena seseorang tidak mendapatkan asupan bergizi dalam jumlah yang tepat pada jangka waktu yang lama (kronik). Sehingga, stunting sebenarnya dapat dicegah dengan asupan gizi yang memadai, terutama pada 1000 Hari Pertama Kehidupan.
Secara global, stunting berkontribusi sebesar 15-17 persen pada kasus kematian anak. Anak yang stunting akan mengalami kesulitan belajar sehingga kurang berprestasi di sekolah dan kurang produktif saat dewasa. Stunting dapat menurunkan penghasilan sebanyak 20 persen. Hal ini menjadikan mereka tidak bisa mendapatkan penghasilan yang cukup sehingga terus berada dalam kemiskinan.
Baca Juga : Daftar Obat Sirup Diduga Penyebab Gangguan Ginjal Akut Pada Anak yang Dilarang BPOM RI
Angka stunting yang besar di Indonesia merupakan masalah serius. Artinya, negara memiliki jutaan anak kurang gizi yang kesulitan berprestasi di sekolah serta kurang mampu mendapatkan cukup penghasilan saat dewasa sehingga sulit berkontribusi untuk membangun ekonomi bangsa. Oleh karena itu, stunting menjadi salah satu ancaman serius bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan Indonesia.
Saat ini 1 dari 3 anak Indonesia mengalami stunting (30,8 % berdasarkan Riskesdas 2018 dan 27,67% berdasarkan SSGBI 2019). Meskipun sudah mengalami penurunan dari angka 37,2% di tahun 2013, namun pemerintah menargetkan persentase stunting dapat turun menjadi 14% di tahun 2024. Data stunting dalam bentuk peta interaktif dapat diakses di Database Kesehatan Indonesia hasil Kerjasama Bappenas dengan Unicef. (Sumber: http://data-kesehatan.bappenas.go.id/)
Intervensi untuk menanggulangi permasalahan gizi terbagi menjadi gizi spesifik (langsung) dan gizi sensitif (tidak langsung). Intervensi gizi spesifik (langsung) digunakan untuk menangani penyebab-penyebab langsung terjadinya kurang gizi.
Kebanyakan dari intervensi ini dilaksanakan oleh sektor kesehatan dan meliputi konseling ASI, makanan pendamping ASI dan makanan selama kehamilan, pemberian vitamin dan mineral, penanganan balita gizi buruk, dan intervensi untuk mencegah dan mengobati infeksi seperti misalnya diare, cacingan dan malaria.
Baca Juga : Kebijakan Prioritas Penggunaan Dana Desa 2023
Intervensi gizi sensitif (tidak langsung) digunakan untuk menangani penyebab tidak langsung terjadinya kurang gizi, seperti ketahanan pangan rumah tangga, air dan sanitasi serta kemiskinan. Intervensi-intervensi ini dilaksanakan melalui berbagai sektor seperti misalnya pertanian, kelautan dan perikanan, kesehatan, pendidikan, perdagangan dan industri, pekerjaan umum, dan kesejahteraan sosial.
Sumber: The Lancet, 2013: Executive Summary of The Lancet Maternal and Child Nutrition Series
Upaya penurunan stunting dilakukan melalui dua intervensi gizi, yaitu intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Intervensi spesifik merupakan kegiatan yang langsung mengatasi penyebab terjadinya stunting dan umumnya diberikan oleh sektor kesehatan seperti asupan makanan, pencegahan infeksi, status gizi ibu, penyakit menular dan kesehatan lingkungan. Sementara itu, intervensi sensitif merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penyebab tidak langsung stunting yang umumnya berada di luar kewenangan Kementerian Kesehatan.
Dalam penanggulangan permasalahan gizi, intervensi sensitif memiliki kontribusi sebesar 70 persen sementara intervensi spesifik menyumbang sekitar 30 persennya (Lancet, 2013). Selain dua hal tersebut, diperlukan juga faktor pendukung yang memungkinkan terjadinya penurunan stunting seperti komitmen politik dan kebijakan, keterlibatan pemerintah dan lintas sektor serta kapasitas untuk melaksanakan intervensi yang ada.
Pencegahan stunting tidak hanya menjadi urusan ibu, melainkan juga pasangannya. Suami dapat memberikan stimulasi pada janin dengan mengelus-elus perut ibu dan mengajak janin bicara sejak usia kandungan 4 bulan. Selain itu, komunikasi juga diperlukan untuk membantu ibu baik secara fisik maupun mental dalam menghadapi kehamilannya. Peran lainnya yang bisa dilakukan oleh suami dalam mencegah stunting antara lain:
Ada beberapa hal yang bisa ibu lakukan untuk mencegah kejadian stunting pada anak, baik saat hamil maupun sesudah melahirkan. Saat hamil, penting bagi ibu untuk melakukan tiga hal ini:
Sedangkan, sesudah melahirkan, ibu dapat melakukan tiga hal ini:
Pencegahan stunting sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Remaja putri dapat melakukan pencegahan dengan mengkonsumsi tablet tambah darah (TTD) sebanyak 1 tablet per minggu, melakukan aktivitas fisik minimal 30 menit sehari serta menerapkan pola makan sesuai pedoman gizi seimbang.
Rencana Aksi Pangan dan Gizi merupakan rencana aksi yang berisi program serta kegiatan di bidang pangan dan gizi guna mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. RAPG terdiri dari RAN-PG di tingkat nasional dan RAD-PG di tingkat daerah. RAD-PG kemudian dibagi lagi menjadi rencana di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2017, Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) terdiri dari lima pilar, yaitu:
RAN-PG bertujuan untuk menyelaraskan perencanaan pangan dan gizi multisektor sehingga dapat menjadi panduan bagi pemerintah pusat dan daerah. Target perbaikan gizi dan sasaran pangan pada RAN-PG selaras dengan yang ada di RPJMN. RAN-PG ditetapkan oleh Menteri PPN/ Kepala Bappenas dan berlaku untuk jangka waktu 5 tahun. RAN-PG tahun 2020-2024 saat ini sedang dalam tahap penyusunan.
RAD-PG atau Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi terdiri dari RAD-PG Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Sejak tahun 2011, semua provinsi telah memiliki RAD-PG. RAD-PG provinsi ditetapkan oleh gubernur sementara RAD-PG kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati atau walikota. Penyusunan RAD-PG mengikuti periode RPJMD.
Pada tahap penyusunannya, tim teknis mengkonsultasikan rancangan RAD-PG sebelum ditetapkan. Rancangan RAD-PG provinsi dikonsultasikan ke Bappenas sementara RAD-PG kabupaten dikonsultasikan ke Bappeda provinsi. Konsultasi ini dimaksudkan agar terjadi keselarasan perencanaan di berbagai tingkatan.
Tahun 2022 Angka Prevalensi Stunting Harus Turun Setidaknya 3%
“Prevalensi stunting tahun 2022 harus turun setidaknya 3% melalui konvergensi program intervensi spesifik dan sensitif yang tepat sasaran, serta didukung data sasaran yang lebih baik dan terintegrasi, pembentukan TPPS dan (penguatan) tingkat implementasinya hingga di tingkat rumah tangga melalui Posyandu,” tegas Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin saat memimpin Rapat Koordinasi Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Pusat di Istana Wapres, Jl. Medan Merdeka Selatan No. 6 Jakarta Pusat, Rabu (11/05/2022).
Baca Juga : Kasus Gangguan Ginjal Akut Pada Anak, Gejala dan Penyebabnya
Hadir dalam rapat tersebut, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo, Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko, serta berbagai pejabat terkait. Sementara Wapres didampingi oleh Kepala Sekretariat Wapres Ahmad Erani Yustika, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Suprayoga Hadi, Deputi Bidang Administrasi Guntur Iman Nefianto, Staf Khusus Wapres Bidang Komunikasi dan Informasi Masduki Baidlowi, Staf Khusus Wapres Bambang Widianto, serta Tim Ahli Wapres Saleh Husin dan Farhat Brachma, Asisten Deputi Penanggulangan Kemiskinan Abdul Mu’is dan Lead Program Manager TP2AK – Setwapres Iing Mursalin.
Lebih lanjut, Wapres memaparkan bahwa berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 yang dilaksanakan Kementerian Kesehatan, angka prevalensi stunting di Indonesia pada 2021 sebesar 24,4%, atau menurun 6,4% dari angka 30,8% pada 2018.
“Pemerintah mempunyai target untuk menurunkan prevalensi hingga 14% pada tahun 2024. Itu artinya, kita harus menurunkan prevalensi sebesar 10,4% dalam 2,5 tahun ke depan, yang tentu saja ini menjadi tantangan bagi kita semua untuk mencapainya,” tuturnya.
Untuk itu, Wapres selaku Ketua Tim Pengarah TPPS berharap setiap Kementerian/Lembaga (K/L) dapat menyusun rencana pencapaian setiap target antara yang menjadi tanggung jawabnya dan memastikan kecukupan dana, sarana, serta kapasitas implementasinya.
“Pelaksanaan program harus dipantau, dievaluasi dan dilaporkan secara terpadu dan berkala. Sehingga dapat diketahui perkembangan, capaian, dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya, yang kemudian kita bisa mengambil langkah berikutnya untuk memastikan target prevalensi 14% pada tahun 2024 bisa dicapai,” pintanya.
Lebih jauh, Wapres menekankan bahwa Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai ketua tim pelaksana penanganan stunting perlu didukung seluruh K/L terkait sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing.
“Selain itu, perlu dipastikan agar Rencana Aksi Nasional Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN PASTI) digunakan sebagai pedoman untuk percepatan penurunan stunting di tingkat lapangan,” pintanya lagi.
Adapun terkait alokasi anggaran penurunan stunting di TA 2022 baik melalui APBN, APBD maupun APBDesa, Wapres meminta agar juga disinergikan.
“Kebutuhan anggaran penurunan stunting perlu dihitung lagi, dikalkulasi lagi, (dan) dikonsolidasikan agar lebih efektif dan efisien,” tegasnya.
Pada arahan penutup, Wapres meminta stunting difokuskan pada daerah-daerah dengan angka prevalensi tinggi dan daerah yang mempunyai jumlah anak stunting tinggi melalui intervensi yang lebih intensif, pendanaan yang terkonsolidasi dan terpadu, sehingga lebih efektif dan efisien.
“Selain Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Barat yang mempunyai prevalensi tinggi, perlu juga diperhatikan daerah yang punya jumlah anak stunting yang banyak, seperti di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten dan Sumatera Utara. Daerah-daerah ini yang perlu mendapat perhatian,” pungkasnya.
Download Lampiran :
Sumber: https://stunting.go.id, https://cegahstunting.id, Tenggulangbaru.id